Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Dzulhijjah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “…Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Dzulhijjah- adalah mustahab/dianjurkan dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5/9 cet. Ibn al-Haitsam)
Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan/sunnah itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Dzulhijjah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah/jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Dzulhijjah -maksudnya sembilan hari pertama- begitu pula hadits dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijjah tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau/nabi tidak berpuasa.
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar/bepergian, atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut (lihat Syarh Muslim, 5/101).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah adalah dianjurkan. Dalilnya hadits dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Dzulhijjah, kecuali tanggal 10, pent). Syaikh mengatakan ‘hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama menyatakan, bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu (lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2 dengan sedikit penambahan)